Sejarah
Perkembangan
Kegiatan mendaki
gunung telah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan menurut kisah kisah
Mahabarata. Pandawa Lima yang terdiri dari Sadewa, Nakula, Arjuna, Bhima dan
Yudhisthira, beserta istri mereka Draupadi, mendaki gunung Mahameru untuk
mencapai puncaknya.
Dalam sejarah
dunia, pendakian gunung tertinggi pertama kalinya terjadi dengan pencapaian
puncak Everest oleh Sir Edmund Hillary, pendaki gunung asal New Zealand dan
Tenzing Norgey, seorang sherpa asal Tibet pada tahun 1953.
Keinginan manusia
untuk mendaki gunung sebelumnya sudah muncul pada abad 19, ketika orang-orang
Swiss (The Alps) mulai mendaki gunung-gunung untuk mencapai puncaknya, dan
Edward Whymper, seorang berkebangsaan Inggris, adalah orang yang pertama berhasil
mencapai puncak gunung Matterhorn pada tahun 1865.
Sejak saat itu,
banyak ekspedisi-ekspedisi untuk mencapai puncak-puncak gunung di dunia. Klub pendakian gunung Alpine Club dari
Inggris telah melakukan lebih dari 600 ekspedisi semenjak Alpine Club didirikan
pada tahun 1857. Tercatat dalam Russian
Mountaineering Federation, bahwa telah dilakukan 48 ekspedisi untuk mencapai
puncak-puncak Himalaya pada tahun 1994-1998.
Di Indonesia
sendiri tercatat 145.151 orang yang mendaki gunung Gede Pangrango, Jawa Barat
pada tahun 1996-2000. Dijelaskan pula
dalam Diktat Sekolah Manajemen Ekspedisi Wanadri 2000 bahwa hampir semua
perguruan tinggi atau SLTA mempunyai kelompok-kelompok penggiat alam terbuka.
Secara perorangan
maupun berkelompok mereka mengembangkan segi petualangan, segi ilmu
pengetahuan, segi olahraga, segi rekreasi dan segi wisata. Perkembangan ini dilakukan secara luas baik
hanya mencakup satu segi saja ataupun secara berkaitan (misalnya mendaki gunung
untuk melakukan petualangan saja, olahraga saja, atau untuk olahraga, rekreasi
dan wisata) yang mengembangkan segi ilmu pengetahuan dan segi petualangan.
Kenapa Mendaki
Gunung
Mendaki gunung
seperti kegiatan petualangan lainnya merupakan sebuah aktivitas olahraga
berat. Kegiatan itu memerlukan kondisi
kebugaran pendaki yang prima. Bedanya
dengan olahraga yang lain, mendaki gunung dilakukan di tengah alam terbuka yang
liar, sebuah lingkungan yang sesungguhnya bukan habitat manusia, apalagi anak
kota.
Pendaki yang baik
sadar adanya bahaya yang bakal menghadang dalam aktivitasnya yang diistilahkan
dengan bahaya obyektif dan bahaya subyektif. Bahaya obyektif
adalah bahaya yang datang dari sifat-sifat alam itu sendiri. Misalnya saja gunung memiliki suhu udara yang
lebih dingin ditambah angin yang membekukan, adanya hujan tanpa tempat
berteduh, kecuraman permukaan yang dapat menyebabkan orang tergelincir sekaligus
berisiko jatuhnya batu-batuan, dan malam yang gelap pekat. Sifat bahaya
tersebut tidak dapat diubah manusia.
Hanya saja, sering
kali pendaki pemula menganggap mendaki gunung sebagai rekreasi biasa. Apalagi
untuk gunung-gunung populer dan "mudah" didaki, seperti Gede,
Pangrango atau Salak. Akibatnya, mereka lalai dengan persiapan fisik maupun
perlengkapan pendakian. Tidak jarang di
antara tubuh mereka hanya berlapiskan kaus oblong dengan bekal biskuit atau air
ala kadarnya.
Meski tidak dapat
diubah, sebenarnya pendaki dapat mengurangi dampak negatifnya. Misalnya dengan
membawa baju hangat dan jaket tebal untuk melindungi diri dari dinginnya udara.
Membawa tenda untuk melindungi diri dari hujan bila berkemah, membawa lampu
senter, dan sebagainya.
Sementara bahaya
subyektif datangnya dari diri orang itu sendiri, yaitu seberapa siap dia dapat
mendaki gunung. Apakah dia cukup sehat, cukup kuat, pengetahuannya tentang peta
kompas memadai (karena tidak ada rambu-rambu lalu lintas di gunung), dan sebagainya.
Sebagai
gambaran, Badan SAR Nasional mendata
bahwa dari bulan Januari 1998 sampai dengan April 2001 tercatat 47 korban
pendakian gunung di Indonesia yang terdiri dari 10 orang meninggal, 8 orang
hilang, 29 orang selamat, 2 orang luka berat dan 1 orang luka ringan, dari
seluruh pendakian yang tercatat (Badan SAR Nasional, 2001)
Data lain, sejak
tahun 1969 sampai 2001, gunung Gede dan
Pangrango di Jawa Barat telah memakan korban jiwa sebanyak 34 orang.
Selanjutnya, dari 4000 orang yang berusaha mendaki puncak Everest sebagai
puncak gunung tertinggi di dunia, hanya 400 orang yang berhasil mencapai puncak
dan sekitar 100 orang meninggal. Rata-rata kecelakaan yang terjadi pada
pendakian dibawah 8000 m telah tercatat sebanyak 25% pada setiap periode pendakian.
Kedua bahaya itu
dapat jauh dikurangi dengan persiapan. Persiapan umum yang harus dimiliki
seorang pendaki sebelum mulai naik gunung antara lain:
1.
Membawa alat navigasi berupa peta lokasi pendakian, peta, altimeter,
atau kompas. Untuk itu, seorang pendaki harus paham bagaimana membaca peta dan
melakukan orientasi. Jangan sekali-sekali mendaki bila dalam rombongan tidak
ada yang berpengalaman mendaki dan berpengetahuan mendalam tentang navigasi.
2. Pastikan kondisi tubuh sehat
dan kuat. Berolahragalah seperti lari atau berenang secara rutin sebelum
mendaki.
3. Bawalah peralatan pendakian
yang sesuai. Misalnya jaket anti air atau ponco, pisahkan pakaian untuk
berkemah yang selalu harus kering dengan baju perjalanan, sepatu karet atau
boot (jangan bersendal), senter dan baterai secukupnya, tenda, kantung tidur,
matras.
4. Hitunglah lama perjalanan untuk
menyesuaikan kebutuhan logistik. Berapa banyak harus membawa beras, bahan
bakar, lauk pauk, dan piring serta gelas. Bawalah wadah air yang harus selalu
terisi sepanjang perjalanan.
5. Bawalah peralatan medis,
seperti obat merah, perban, dan obat-obat khusus bagi penderita penyakit
tertentu.
6. Jangan malu untuk belajar dan
berdiskusi dengan kelompok pencinta alam yang kini telah tersebar di sekolah
menengah atau universitas-universitas.
7. Ukurlah kemampuan diri. Bila
tidak sanggup meneruskan perjalanan, jangan ragu untuk kembali pulang.
Memang, mendaki
gunung memiliki unsur petualangan. Petualangan adalah sebagai satu bentuk
pikiran yang mulai dengan perasaan tidak pasti mengenai hasil perjalanan dan
selalu berakhir dengan perasaan puas karena suksesnya perjalanan tersebut.
Perasaan yang muncul saat bertualang adalah rasa takut menghadapi bahaya secara
fisik atau psikologis. Tanpa adanya rasa takut maka tidak ada petualangan karena
tidak ada pula tantangan.
Seperti yang
dinyatakan dalam data harian Kompas, tercatat dari 50 orang yang pernah
tertimpa musibah dalam pendakian gunung Semeru, Jawa Tengah, 24 orang
dinyatakan tewas, dua orang hilang, 10 orang luka-luka, dan empat orang selamat.
Banyaknya
kecelakaan dan hambatan yang kerap dialami oleh orang yang mendaki gunung,
tidak membuat para pendaki berhenti melakukan pendakian. Data terakhir
menyatakan bahwa pada bulan Juli 2002 masih dilakukan pendakian oleh sepuluh
pendaki gunung asal Bandung menuju gunung Slamet. Pendakian tersebut
menyebabkan kesepuluh pendaki gunung tersebut hilang sehingga diperbantukan
sebanyak 24 orang anggota Tim SAR Polres Purbalingga dan gabungan pecinta alam
dari Purwokerto diterjunkan ke lokasi untuk mencari para pendaki gunung
tersebut.
Risiko mendaki
gunung yang tinggi, tidak menghalangi para pendaki untuk tetap melanjutan
pendakian, karena Zuckerma menyatakan bahwa para pendaki gunung memiliki
kecenderungan sensation seeking tinggi. Para sensation seeker menganggap dan
menerima risiko sebagai nilai atau harga dari sesuatu yang didapatkan dari
sensasi atau pengalaman itu sendiri. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan
maupun kurang menyenangkan tersebut membentuk self-esteem.
Pengalaman-pengalaman ini selanjutnya menimbulkan perasaan individu tentang
dirinya, baik perasaan positif maupun perasaan negatif. Perjalanan pendakian
yang dilakukan oleh para pendaki menghasilkan pengalaman, yaitu pengalaman
keberhasilan dan sukses mendaki gunung, atau gagal mendaki gunung. Kesuksesan
yang merupakan faktor penunjang tinggi rendahnya self-esteem, merupakan bagian
dari pengalaman para pendaki dalam mendaki gunung.
Fenomena yang
terjadi adalah apakah mendaki gunung bagi para pendaki merupakan sensation
seeking untuk meningkatkan self-esteem mereka? Selanjutnya, sensation seeking
bagi para pendaki gunung kemungkinan memiliki hubungan dengan self-esteem
pendaki tersebut. Karena pengalaman yang dialami para pendaki dalam pendakian
dapat berupa keberhasilan maupun kegagalan.
Persiapan
mendaki gunung
Persiapan umum
untuk mendaki gunung antara lain kesiapan mental, fisik, etika, pengetahuan dan ketrampilan.
•
Kesiapan mental.
Mental amat berpengaruh, karena
jika mentalnya sedang fit, maka fisik pun akan fit, tetapi bisa saja terjadi
sebaliknya.
•
Kesiapan fisik.
Beberapa latihan fisik yang
perlu kita lakukan, misalnya : Stretching /perenggangan [Sebelum dan sesudah melakukan aktifitas
olahraga, lakukanlah perenggangan, agar tubuh kita dapat terlatih
kelenturannya]. Jogging (lari pelan-pelan) Lama waktu dan
jarak sesuai dengan kemampuan kita, tetapi waktu, jarak dan kecepatan selalu
kita tambah dari waktu sebelumnya. Latihan lainnya bisa saja sit-up, push-up
dan pull-up Lakukan sesuai kemampuan kita dan tambahlah porsinya melebihi porsi
sebelumnya.
•
Kesiapan administrasi.
Mempersiapkan seluruh prosedur
yang dibutuhkan untuk perijinan memasuki kawasan yang akan dituju.
•
Kesiapan pengetahuan dan ketrampilan.
Pengetahuan untuk dapat hidup
di alam bebas. Kemampuan minimal yang perlu bagi pendaki adalah pengetahuan
tentang navigasi darat, survival serta EMC [emergency medical care] praktis.
Perencanan
pendakian.
Hal pertama yang
ahrus dilakukan adalah mencari informasi.
Untuk mendapatkan data-data kita dapat memperoleh dari literatur-
literatur yang berupa buku-buku atau artikel-artikel yang kita butuhkan atau
dari orang-orang yang pernah melakukan pendakian pada objek yang akan kita
tuju. Tidak salah juga bila meminta informasi dari penduduk setempat atau siapa
saja yang mengerti tentang gambaran medan lokasi yang akan kita daki.
Selanjutnya buatlah
ROP (Rencana Operasi Perjalanan).
Buatlah perencanaan secara detail dan rinci, yang berisi tentang daerah
mana yang dituju, berapa lama kegiatan berlangsung, perlengkapan apa saja yang
dibutuhkan, makanan yang perlu dibawa, perkiraan biaya perjalanan, bagaimana
mencapai daerah tersebut, serta prosedur pengurusan ijin mendaki di daerah
tersebut. Lalu buatlah ROP secara teliti dan sedetail mungkin, mulai dari
rincian waktu sebelum kegiatan sampai dengan setelah kegiatan. Aturlah
pembagian job dengan anggota pendaki yang lain (satu kelompok), tentukan kapan
waktu makan, kapan harus istirahat, dan
sebagainya.
Intinya dalam
perencanaan pendakian, hendaknya memperhatikan beberapa hal :
•
Mengenali kemampuan diri dalam tim dalam menghadapi medan.
•
Mempelajari medan yang akan ditempuh.
•
Teliti rencana pendakian dan rute yang akan ditempuh secermat mungkin.
•
Pikirkan waktu yang digunakan dalam pendakian.
•
Periksa segala perlengkapan yang akan dibawa.
Perlengkapan
dasar perjalanan.
•
Perlengkapan jalan : sepatu , kaos kaki , celana , ikat pinggang ,
baju , topi , jas hujan dll.
•
Perlengkapan tidur : sleeping bag , tenda , matras dll.
•
Perlengkapan masak dan makan: kompor , sendok , makanan , korek dll.
•
Perlengkapan pribadi : jarum , benang , obat pribadi , sikat , toilet
paper dll.
•
Ransel / carrier.
Perlengkapan
pembantu.
•
Kompas , senter, pisau pinggang,
golok tebas, Obat-obatan.
•
Peta, busur derajat, douglass protector, pengaris, pensil dll.
•
Alat komunikasi (Handy talky), survival kit, GPS [kalo ada]
•
Jam tangan.
Packing atau
menyusun perlengkapan kedalam ransel.
•
Kelompokkan barang barang sesuai dengan jenis jenisnya.
•
Masukkan dalam kantong plastik.
•
Letakkan barang barang yang ringan dan jarang penggunananya (mis :
Perlengkapan tidur) pada yang paling dalam.
•
Barang barang yang sering digunakan dan vital letakkan sedekat mungkin
dengan tubuh dan mudah diambil.
•
Tempatkan barang barang yang lebih berat setinggi dan sedekat mungkin
dengan badan / punggung.
•
Buat Checklist barang barang tersebut.
Mengenal Jenis
Gunung
Pada garis besar
gunung terbagi menjadi 2, yaitu gunung berapi/aktif dan tidak aktif. Berdasar
bentuknya dibagi menjadi :
1.
Gunung berapi perisai (Gunung berapi lava) == spt perisai
2.
Gunung berapi strato
3.
Gunung berapi maar == Gunung berapi yang meletus sekali dan segala
aktivitas vulkanisme terhenti, yang tinggal hanya kawahnya saja.
Macam dan tingkat
pendakian gunung macam pendakian , yaitu pendakian gunung bersalju (es) dan
gunung batu. Keduanya mambutuhkan
persiapan dan perlengkapan yang matang.
Menurut Club "Mountaineers", seatle Washington , dasar
pembagian tingkat pendakian ada dua cara.
* Berdasar kesulitan teknis yang
dihadapi ( class)
a.
class 1 : lintas alam tanpa bantuan tangan
b.
class 2 : dibutuhkan bantuan tangan.
c.
class 3 : pendakian yang mudah memerlukan kaki dan tangan dalam
mendaki, tali mungkin dibutuhkan oleh pemula.
d.
class 4 : pendakian memerlukan
tali pengaman.
e.
class 5 : dibutuhkan tali dan pengaman peralatan lain seperti : piton,
runner, chocks dll.
f.
class 6 : mandaki dengan tali dengan peralatan bantuan sepenuhnya
berpijak diatas paku tebing, memenjat
rantai sling atau mengunakan stirupss.
Pendakian claass 4 masuk dalam
katagori scrembling dan calss 5 - 6 sudah dapat dikatagorikan sebagai climbing
[panjat] apa bila dilakukan di gunung batu / cadas disebut rock climbing dan
bila dilakukan di gunung es disebut dengan snow and ice climbing
.
(Ulasan mengenai hal ini dibahas
dalam materi tersendiri).
* Berdasar semua faktor yang menentukan tingkat kesukaran dalam
pendakian dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam medan pendakian (grade)
- Grade I : bagian yang sukar dapat ditempuh dalam beberapa jam.
- Grade II : bagian yang sukar ditempuh dalam setengah hari.
- Grade III: bagian yang sukar ditempuh dalam sehari penuh.
- Grade IV : bagian yang sukar ditempuh dalam sehari penuh dan memerlukan bantuan lereng-lereng sempit untuk bisa naik.
- Grade V : bagian yang sukar ditempuh dalam waktu 1,5-2,5 hari.
- Grade VI : bagian yang sukar ditempuh dalam waktu 2 hari atau lebih dan dengan banyak sekali kesulitan.
(Ulasan mengenai hal ini dibahas
dalam materi panjat tebing).
Berdasarkan tingkat kemanan pemanjat dari kemampuan alat yang
digunakan :
- A1 : aman sekali, peralatan yang dipasang dan digunakan dapat diandalkan untuk menjaga keselamatan pendaki
- A2 : aman, jikapun terjadi maslah, alat masih dapat diandalkan untuk mencegah akibat yang lebih fatal [misalnya jatuh tidak sampai kedasar]
- A3 : penggunan alat pengaman cukup aman tetapi tidak dapat diandalkan untuk menjaga resiko jatuh, kecuali dengan pemasngan yang sangat teliti dan fall-faktor yang tidak terlal;u berbeban tinggi. Bila fall faktor tinggi, maka alat-alat akan copot dan pendaki bisa menerima akibat fatal.
- A4 : pengaman yang digunakan tidak dapat diharapkan untuk dapat menahan beban jatuh, cenderung hanya sebagai pengaman psykologis untuk menguatkan mental pendaki.
Makanan
(logistik).
Makanan yang dibawa
seharusnya dapat memenuhi kebutuhan energi pendaki, selama pendakian seseraorng
membutuhkan sitar 5.000 kalori dan 100 gram protein, kalori dapat dipenuhi
dengan mengkonsumsi nasi. Namun ada baiknya hanya memakan nasi satu kali sehari
di kala malam (saat berkenah) alasayanya beras realtif berat dan memerluakan
waktu yang lama untu memasak serta menghabiskan banyak bahan bakar. Fungsi beras dapat diganti dengan roti,
biskuit, coklat, dan hevermit.
Hal yang perlu
diperjatikan hinadri mengkonsumsi makanan yang harus dimasak lebih dahulu
selama mendaki, karena hal ini hanya akan merepotkan dan menghabiskan waktu
perjalanan. Pilihlah makanan praktis seperti coklat, roti, agar-agar,
buah-buahan, dapat juga dibuat mixfood yang terdiri atas kacang, coklat,
biskuit dan kismis.
Umumnya makanan
yang paling praktis dibawa adalah makanan instan yang memiliki kemasan,
buanglah kemasan karton sebelum dimasukan dalam ransel dengan demikian berat
ransel dapat berkurang dan makanan yang dibawapun tidak banyak memakan tempat
didalam ransel.
Peralatan lain
Selain peralatan
dan sejumlah perlengkapan, jangan lupa membawa perlengkapan kecil yang terdanag
dirasa sepele, namun amat penting. Perlengkapan itu berupa obat-obatan seperti
pelester, obat merah, tisu basah dan kering, senter, benang, jarum jahit, jam
dan alat tulis. Peralatan itu terkandang
dibutuhkan dalam keadaan darurat atau menjaga tubuh tetap bersih.
Hal
terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah jangan lupa membawa tas / kantong
plastik, tas plastik tersebut dibutuhkan untuk menaruh barang-barang yang kotor
dan basah sebelum dicuci dan tas plastik juga berfungsi untuk membawa kembali
sampah-sampah pendakian, sampah-sampah sisa makanan atau berkemah, janganlah
dibuang begitu saja di alam terbuka.
Selain megotori, membuang sampah dapat menyulitkan usaha pencarian dan
pertolongan bagi pendaki yang tersesat atau mengalami kecelakaan, kerap kali usaha pencarian oarang tersesat
terbantu dengan petunjuk dari barang-barang yang tercecer.
Penulis : NRD PJH0103
No comments:
Write comments